"Ilmu pengetahuan Tertinggi adalah ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipikirkan oleh otak manusia tapi bisa dirasakan hati manusia"

"Top science is science that can not be considered by the human brain can be felt but the human heart"

"トップ科学人間の脳考えることはできない科学感じることができる、人間のです."

Sabtu, 03 Desember 2011

Kebohongan

Suatu ketika ada seorang bertanya kepada Abu Nawas, figur yang dikenal cerdik dalam dongeng Arab. Ia menantang Abu Nawas dengan pertanyaan, “ berapa jumlah bintang di langit. Dasar tidak mau kalah, Abu Nawas menjawab, “sebanyak bulu domba itu.” Orang tesebut melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana Anda tahu?” Maka Abu Nawas menjawab, “kalau tidak percaya silahkan hitung sendiri.” Sekalipun itu kisah jenaka, tapi dialog di atas menggambarkan sebuah cara untuk berbohong secara samar. Abu Nawas ingin menyembunyikan ketidaktahuannya dengan cara membuat penanya tidak berkutik. Tapi ini adalah kebohongan yang ringan karena tidak ada unsur penipuan. Pembaca kisah hanya tertawa karena jawaban yang tidak ilmiyah tapi lucu.

Di luar kebohongan yang bersifat jenaka, ada kebohongan yang agak ilmiyah; kebohongan dengan permainan angka-angka. Anda mungkin pernah membaca sebuah buku yang berjudul, How to Lie with Statistics, artinya bagaimana berbohong dengan statistik, permainan angka-angka. Belum lama ini, kita mendengar pernyataan bahwa rakyat Indonesia semakin makmur, kemiskinan semakin berkurang. Angka-angka dipaparkan unyuk meyakinkan pembaca bahwa memang rakyat Indonesia benar-benar semakin sejahtera. Tanpa disebut secra eksplisit, pesan itu menyatakan bahwa pemerintah
telah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan karena itu jangan dikritik. Tapi, untung di antara 240 juta lebih penduduk Indonesia ada yang cermat. Mereka menanyakan dari mana angka-angka itu didapatkan; dari kantor statistik atau laporan lurah, camat dan bupati? Padahal, orang tahu bagaimana cara kerja mereka mendapatkan data dan bagaimana melaporkannya. Jika hanya 10 persen rakyatnya bertambah kaya, dan 90 persen tetap saja miskin, apakah ini berarti rakyat semakin makmur? Jika jurang ketimpangan ekonomi semakin lebar, tentu kesejahteraan semakin turun. Kenyataannya jumlah orang miskin malah semakin banyak. Tapi percayalah ini adalah adalah kebohongan yang ilmiyah karena menggunakan statistik supaya banyak orang percaya.

Tahun-tahun ini memang angka kebohongan yang ilmiyah meningkat. MTI (Masyarakat Transpanasi International) melaporkan bahwa peringkat Indonesia sebagai negara terkorup telah membaik. Indonesia yang sebelumnya pada peringkat ke-5 negara terkorup, kini peringkat ke- 7. Orang pada umumnya memperoleh kesan bahwa korupsi di Indonesia semakin berkurang. Betulkah? Orang yang cermat akan berfikir dulu, jangan- jangan perubahan peringkat itu terjadi karena ada beberapa negara yang
terkena wabah korupsi, sehingga menyalip peringkat Indonesia. Artinya, korupsi di Indonesia masih tetap mewabah tapi beberapa negara lain mewabah lebih dahsyat. Korupsi di Indonesia tetap saja berjalan, hanya kalah cepat oleh negara lain.

Kecuali itu, ada kebohongan yang tidak begitu ilmiyah; tidak memakai data, tapi membuat pernyataan terbuka. Lima tahun yang lalu ada seorang tokoh yang menyatakan bahwa ormasnya memiliki 45 juta anggota. Tiga tahun kemudian, tokoh lain yang menggantikan menyebut angka 60 juta. Ini berarti ada tambahan anggota baru 15 juta dalam masa tiga tahun. Mungkin saja, lima tahun yang akan datang sudah menjadi 80 juta, dan sepuluh tahun lagi 110 juta. Percaya? Ini cerita lain. Seorang tokoh organisasi perempuan membuat pernyataan bahwa organisasinya memiliki 400 rumah sakit. Orang
awam bisa jadi percaya bahwa 400 rumah sakit itu benar-benar miliknya. Masih ada tambahan lagi: sebuah ormas mengaku punya 21.600 pesantren. Percaya? Tapi untung ada yang kritis. Mereka bertanya apa makna memiliki dalam kalimat itu. Bisa jadi, memiliki bermakna mengaku memiliki, sehingga tidak diperlukan data yang legal. Mungkin juga angka-angka disebut untuk membuat kesan besar padahal tidak berdasarkan data. Walhasil, banyak yang tertipu dengan angka-angka itu.

Orang yang tidak memahami watak orang Indonesia mungkin percaya terhadap pernyataan-pernyataan itu. Orang asing banyak yang menganggap angka-angka itu betul-betul riil. Mereka tidak tahu bahwa di Indonesia banyak pembohong yang kalau ditanya dari mana angka itu didapat, akan menjawab,” kalau tidak percaya, silahkan hitung sendiri.”

Saya pernah mendengar pepatah Tionghoa, yang menyatakan, “Setelah kebohongan diulang seribu kali, maka akan terdengar seperti kebenaran.” Konon, Adolf Hitler, tokoh Nazzi dari Jerman, juga bernah berkata, “Kebenaran

adalah kebohongan yang diulang-ulang 1000 kali”. Saya belum tahu pasti apakah pepatah Tiongkok itu mengambil dari Hitler ataukah sebaliknya. Mungkin juga kebetulan sama. Tentu, membuat kebohongan 1000 kali itu lebih mudah, tetapi mengingat kemarin bohong apa lebih sulit, kecuali kebohongan yang sudah dirancang dengan baik. Kata orang bijak, “Anda tidak akan bisa menipu semua orang pada setiap saat.” Pasti ada orang cerdas yang bisa membedakan antara kebohongan dan kejujuran.