"Ilmu pengetahuan Tertinggi adalah ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipikirkan oleh otak manusia tapi bisa dirasakan hati manusia"

"Top science is science that can not be considered by the human brain can be felt but the human heart"

"トップ科学人間の脳考えることはできない科学感じることができる、人間のです."

Selasa, 24 Januari 2012

Abu nawas mengelabuhi petugas perbatasan kerajaan

Suatu saat Abu Nawas dicurigai melakukan bisnis ilegal ke negara tetangga.
Tetapi setiap kali dia melewati pintu perbatasan, si penjaga perbatasan tidak mampu membuktikan bisnis ilegal tersebut.
Apakah yang dilakukan Abu Nawas untuk mengelabui penjaga perbatasan ya.

Berikut Kisahnya.

Setiap orang di negeri Irak mulai dari anak-anak hingga dewasa mengenal si Abu Nawas.
Seperti kali ini, seisi desa merasa keheranan karena Abu Nawas tampak setiap minggunya melakukan perjalanan dari desanya ke desa tetangga yang sudah masuk dalam wilayah kerajaan negara lain.

Kali ini, seperti biasanya awal minggu pada suatu bulan, dini hari si Abu Nawas sudah keluar dari rumahnya yang dapat dikatakan sangat sederhana.
Di samping rumah sederhana tersebut terdapat kandang kuda yang penghuninya kerap kali berganti.

Seperti dini hari itu, Abu Nawas bersiap melakukan perjalanan menuju desa tetangganya sembari menunggang kuda.
Keesokan harinya biasanya ia akan pulang ke desanya di negeri Irak tersebut sambil membawa banyak barang.

Berdagang.

Karuan saja kebiasaan ini menimbulkan pertanyaan bagi Pak Hamid, tetangganya.
Sehingga sore itu ketika Abu Nawas pulang dari perjalanan tak urung ditanyakanlah perihal perniagaannya yang membuat warga sekampung bingung.

"Hai Abu Nawas, kemanakah engkau beberapa waktu ini, kalau memang engkau memiliki perniagaan yang baik, tolonglah kau ajak kami," ungkap Pak Hamid.
"Ada saja Pak, dan kukira tak akan ada yang mau berniaga sepertiku," jawab Abu Nawas.

Bulan berganti bulan, akhirnya Abu Nawas diduga telah melakukan bisnis yang dilarang.
Bulan berikutnya kembali Abu Nawas berniat melakukan perniagaannya dan dia harus melalui pintu perbatasan.
Si Fulan, petugas penjaga pintu perbatasan memeriksa seluruh barang bawaannya.
Namun tidak ada satupun barang yang mencurigakan.
Hanya ada bekal dan beberapa keping uang.

Keesokan harinya kembali si FUlan berjumpa Abu Nawas di perbatasan, kali ini Abu Nawas membawa banyak barang yang semua lengkap dengan dokumen yang diperlukan.
Si Fulan tidak dapat membuktikan perihal dugaan bisnis terlarang Abu Nawas.
Bahkan karena seringnya perjumpaan tersebut, hubungan keduanya menjadi akrab sampai akhirnya si Fulan dipindahkan dari tempat kerjanya.

Jual Kuda.

Suatu waktu bertemulah 2 orang yang telah lama tidak jumpa di suatu kesempatan yang tidak terduga.
Si Fulan bukan lagi seorang penjaga pintu perbatasan dan dirinya sudah lama pensiun dari pekerjaan itu.

Abu Nawas pun sekarang sudah dikenal sebagai saudagar dermawan yang berhasil.
Pertemuan itu dilanjutkan dengan jamuan makan oleh Abu Nawas.
Dalam kesempatan tersebut masing-masing bercerita tentang pengalaman yang telah mereka hadapi selama lebih kurang 20 tahun tak bertemu.

"Usaha apa yang engkau lakukan di masa itu saudaraku, karena aku mengetahui kau tidak membawa cukup uang.
Tetapi ketika pulang tak hanya keperluan makan, tetapi juga barang lainnya kau bawa setelah pulang dari perniagaan yang tak sampai sehari semalam kau lakukan," tanya si Fulan.

Karena mendengar hal itu, tertawalah Abu Nawas mengingat kebiasaan masa mudanya.
"Sebenarnya sangat mudah saudaraku untuk mencari bukti dan tak perlu harus memeriksa semua barang bawaanku.
Seperti engkau ketahui bahwa aku senantiasa pergi dengan mengendarai kuda, tetapi ketika pulang aku hanya berjalan kaki dan di situlah usahaku," jawab Abu Nawas.

Mendengar penjelasan itu mengertilah si Fulan, yakni di masa itu Abu Nawas menjual kuda-kudanya di negeri tetangga dan pulangnya ia tukarkan dengan barang lainnya.

Abu nawas mengelabui raja

Namanya saja Abu Nawas, selalu punya seribu cara untuk meloloskan diri dari hukuman.
Kali ini adalah Raja Harun Ar-Rasyid yang termakan tipuannya.
Abu Nawas bebas dari hukuman Raja setelah berjanji bahwa ia akan terbang.

Berikut Kisahnya:
Karena di anggap terlalu mengkritik kepemimpinan Raja Harun, maka Abu Nawas ditangkap karena ia dituduh telah melakukan sesuatu yang membahayakan kerajaan sehingga harus dihukum.
Namun demikian, Abu Nawas selalu punya alasan untuk meloloskan diri dari hukuman itu.

Ia mengaku kepada pengawal kerajaan bahwa ia memiliki ilmu tinggi dan ia akan terbang.
Kabar Abu Nawas akan terbang akhirnya terdengar oleh Raja Harun.

"Mana mungkin Abu Nawas akan terbang, dia tidak punya sayap, tidak punya alat-alat khusus, apakah ia punya ilmu khusus?" kata Raja Harun kepada pengawalnya.
"Kami tidak tahu paduka, tetapi Abu Nawas sangat meyakinkan," jawab pengawal.

Hingga dibawalah Abu Nawas menghadap Sang Raja.
"Abu Nawas, betulkah kamu mau terbang?" tanya Raja.
"Ya Tuanku, memang saya mau terbang," jawab Abu Nawas.
"Kapan? dan dimana?" tanya Raja secara beruntun.
"Hari Juma'at yang akan datang ini, dan dari menara Masjid Baitul Rakhim, tak jauh dari rumah saya, jika raja mengijinkan," jawab Abu Nawas.

Akhirnya Sang Raja mengijinkan dan bahkan ia berjanji akan membebaskan Abu Nawas jika bisa terbang.
Akan tetapi jika Abu Nawas tak bisa membuktikan, maka hukumannya akan ditambah 100 lecutan rotan, daun kuping dipotong dan hukuman gantung.

Akan Terbang
Pada hari yang sudah dinantikan, Jum'at sesudah sembahyang Jum'at, lapangan sekitar masjid Baitul Rakhman sudah penuh orang.
Orang biasa, rakyat, penduduk dan penguasa setempat sudah berjubel mengambil tempat masing-masing.
Orang-orang menantikan saat yang paling genting dan mendebarkan.

Abu Nawas dengan langkah yang sangat gagah dan tak ragu, menaiki tangga menara tertinggi dan orang-orang melihat dengan mata yang tak berkedip, terpaku dan menyatu mengikuti langkah tubuh Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas sampai pada puncak tertinggi, dia melihat lurus dan terkadang ke bawah yang penuh orang.
Badan dan kedua belah tangannya merentang lurus seakan-akan benar mau terbang.
Orang-orang yang ada di bawah dengan seksama memperhatikan dan Abu Nawas terus dan berulang-ulang merentangkan tangannya dan memajukan badannya seakan-akan terbang dan bagaikan berenang perilaku dan gerak-geriknya.

Sementar orang-orang yang ada di bawah menunggu dengan jantung berdegup dengan kencang.
Akhirnya Abu Nawas menemui mereka dan mereka semua terpana, terpesona, heran dan penuh keraguan apalagi yang mau dibuat ABu Nawas ini.

"Apa semua kalian lihat tadi bagaimana saya mau terbang itu?" tanya Abu Nawas.
"Ya, kami melihat, kamu menggerakkan kedua belah tanganmu dan badanmu bergerak ke depan, tampaknya memang bergaya mau terbang," kata orang banyak.

Bebas
"Lalu apakah saya berbohong bahwa saya mau terbang pada hari Jum'at ini dan di menara tertinggi Masjid Baitul Rakhim ini?" tanya Abu Nawas.
"Ya tidak bohong, kamu betul mau terbang hari ini dan di sini.Tapi kenapa lalu kamu tidak terbang?" kata mereka.

"Yang saya katakan bahwa saya mau terbang.Lalu saya coba, lalu ternyata yang seperti kalian lihat tadi itu," kata ABu Nawas.
"Tapi ternyata kamu tidak bisa terbang," kata mereka.

"Itu soal lain, saya tidak mengatakan bahwa saya mau terbang pada hari Jum'at ini dan di sini.Itu yang saya katakan dan kalian semua tahu hal itu.
Saya katakan bahwa saya mau terbang, hanya itu bukannya terbang," kata ABu Nawas.

Orang-orang saling melihat dan mulut mereka berguman.
Tarikan nafas panjang karena Abu Nawas terlepas dari jeratan hukum.
Orang-orang juga sama membenarkan bahwa Abu Nawas memang tidak berbohong.
Dia melakukan semua yang dia pernah katakan.Tidak berbohong dan menepati janji.

Abu nawas lolos dari hukuman pancung

Karena dianggap hampir membunuh Baginda Raja, maka Abu Nawas mendapat celaka.
Dengan kekuasaan yang Absolute, Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk langsung menagkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke dalam penjara.

Berikut ini Kisah Abu Nawas yang lolos dari hukuman pancung:
Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim kentang akan tiba.
Namun tanpa alasan yang jelas prajurit kerajaan langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Paduka Raja.
Abu Nawas tiada mampu berkutik dan kini ia mendekam di dalam penjara.

Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam, sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk mencangkul.
Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar.
Sudah 2 hari ia meringkuk di dalam penjara, wajahnya terlihat murung.

Karena khawatir dengan keadaan istrinya, maka pada hari ke 3 Abu Nawas memanggil seorang pengawal.
"Bisakah aku minta tolong kepadamu?" kata Abu Nawas.
"Apa itu?" kata pengawal.
Abu nawas pun meminta pensil dan selembar kertas untuk menulis surat kepada istrinya.

"Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting, yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja," katanya.
Pengawal itu berfikir sejenak, lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata pengawal itu menghadap Raja untuk melapor.
Mendengar laporan dari pengawal, Baginda Raja berguman,
"Mungkin kali ini aku bisa mengalahkan Abu Nawas," gumannya.

Surat Rahasia Abu Nawas
Abu Nawas menulis surat yang berbunyi,
"Wahai istriku, jangan engkau sekali-kali menggali ladang kita, karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ.Dan tolonglah jangan bercerita kepada siapa pun."

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda Raja, karena Beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas.
Setelah membaca surat itu, Baginda Raja merasa puas dan memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas.

Istri Abu Nawas yang berada di rumah menjadi heran.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya.
Dalam surat tersebut istrinya mengatakan bahwa ladang mereka telah digali oleh pekerja istana dan istrinya bingung harus melakukan apa.

Rupanya istri Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya,
"Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku."

Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi karena Baginda Raja makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas.
Baginda semakin merasa tertantang untuk mengalahkan Abu Nawas.
Ia pun berfikir sejenak, kemudian beliau segera memerintahkan penjaga penjara untuk membebaskan ABu Nawas.
Baginda Raja tidak ingin ada resiko yang lebih buruk.

Abu Nawas memang girang bukan kepalang, tetapi ia juga merasa gundah gulana karena Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda telah merencanakan sesuatu dan Abu Nawas pun segera mencari akal untuk mengantisipasi rencana Baginda.

Ahli Ramal
Pada hari itu juga Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktik meramal, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal.

Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal, maka Baginda tanpa pikir panjang memerintahkan prajurit untuk menangkapnya, karena dianggap membahayakan.

Abu Nawas lalu digiring menuju tempat kematian.
Tukang penggal kepala pun sudah menunggu dengan pedang yang baru di asah.
Ketika algojo sudah siap megayunkan pedang, tiba-tiba Abu Nawas tertawa sehingga membuat Baginda menangguhkan pemancungan.

"Hai ABu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?" tanya Raja.
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira," jawab Abu Nawas.
"Mengapa engkau meras gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat 3 hari setelah kematian hamba maka Baginda akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat.Karena hamba tidak bersalah sedikitpun," jawab Abu Nawas.

Baginda Raja bergetar mendengar kata Abu Nawas dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Itulah si Kisah Abu Nawas yang setiap ucapannya mengandung hikamh do'a hingga Sang Raja ngeri juga mendengar penuturannya.

Ini kisah tauladan dari sang cerdik Abu Nawas tentang betapa kayanya dia, dan bahkan lebih kaya dari Tuhan Allah SWT

Ini kisah tauladan dari sang cerdik Abu Nawas tentang betapa kayanya dia, dan bahkan lebih kaya dari Tuhan Allah SWT.
Loh kenapa Sang Abu Nawas berkata demikian.

Simak ceritanya:
Pada suatu saat di negeri tempat tinggal Abu Nawas, diadakanlah pertemuan antar raja-raja dari negara tetangga.
Sang Abu Nawas pun ikut pula dalam pertemuan itu karena dia adalah sebagai penasehat Raja.

Dalam pertemuan itu salah satu tema yang dibicarakan adalah mengenai kekayaan.
Tak bisa dibayangkan raja-raja jaman dahulu memang kaya raya.
Para raja saling bercerita mengenai kekayaan yang dimiliki termasuk istana dan yang akan dibangun setelah pertemuan itu usai.

Ada raja yang memiliki kebun yang luas dengan hiasan permata, danau yang indah gemerlapan, kolam-kolam yang indah, gedung dan istana dan sebagainya.

Semua orang yang mendengar penuturan raja-raja itu berdecak kagum kecuali Abu Nawas.
Malah Abu Nawas berusaha mengingatkan dan menyadarkan mereka dari melimpahnya harta dunia yang fana ini.

Harta dan Agama.

Sang Abu Nawas berkata kepada mereka,
"Kalau harta aku melihat ke bawah tetapi kalau agama aku melihat ke atas."

"Apa maksudnya itu?" tanya beberapa raja.
"Kalau tentang harta maka lihatlah orang yang lebih miskin niscaya engkau akan bersyukur.
Karena dengan rasa syukur maka kalian akan memperoleh nikmat yang lebih banyak.
Tapi kalau amal, maka lihatlah orang yang lebih bertakwa daripada kalian, niscaya kalian akan bertambah rajin untuk beribadah kepada Allah SWT," jelas Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas tersebut, orang-orang mulai sadar akan apa yang telah mereka miliki dan mereka banggakan.
Bahkan banyak dari mereka bahwa ucapan Abu Nawas itu adalah benar.

Abu Nawas Lebih kaya dari Tuhan.

Akan tetapi mereka tiba-tiba terkejut dengan pernyataan Abu Nawas.
"Aku itu lebih kaya dari Tuhan." ucap Abu Nawas spontan.

Tentu saja ucapan Abu Nawas itu mendapat tanggapan yang luar biasa.
Kaget.
Tidaklah heran jika seisi ruangan pertemuan heboh dibuatnya.

Ada sebagian yang bilang kalau Abu Nawas berkata bohong, ada yang bilang kalau Abu Nawas berani berkata demikian memang tiada buktinya.
Sebagian lagi tidak percaya, sebagian lagi punya keyakinan bahwa Abu Nawas mempunyai maksud tertentu di balik kata-katanya.

Karena Abu Nawas bikin heboh pertemuan, akhirnya Baginda Raja memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Abu Nawas.
Setelah ditangkap, Abu Nawas dihadapkan ke Baginda Raja.

"Benarkah kamu mengatakan bahwa kamu lebih kaya dari Tuhan?" tanya Raja.
"Benar Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Apa maksudmu kamu lebih kaya dari Tuhan?" tanya Raja Harun.

"Karena kenyataannya hamba memang demikian," jawab Abu Nawas dengan santainya.
"Sanggupkan kamu membuktikan perkataanmu?" tanya Raja.
"Sanggup Tuanku." jawab Abu Nawas.

"Apa sangsinya bila ternyata kamu tidak sanggup membuktikannya?" tanya Raja Harun.
"Hamba akan rela dihukum oleh Tuanku." jawab Abu Nawas.

"Nah sekarang buktikanlah!" perintah Raja.
"Baginda yang mulia, bukankah Tuhan kita itu tidak mempunyai anak dan juga tidak diperanakkan?
Sedangkan hamba ini mempunyai anak dan ibu karena hamba hanyalah makhluk, bukan Sang Khalik." jawab Abu Nawas.

Mendengar penuturan Abu Nawas tersebut, Raja Harun Al-Rasyid merasa puas, bahkan sang Raja malah memerintah kepada Abu Nawas agar menyebarluaskan opini tersebut kepada seluruh penduduk.

Lolos lagi si Abu Nawas dari hukuman Raja.
Mari kawan kita petik dan ambil hikmahnya dari nasehat sang Imam Abu Nawas ini.

Abu nawas raja minta mahkota dari surga

Pada hari itu, tidak seperti biasang Baginda Raja tiba-tib ingin menyamar menjadi rakyat biasa.
Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa diketahui oleh siapa pun, termasuk istri dan anaknya.

Raja pun akhirnya keluar istana dengan berpakaian ala kadarnya layaknya seorang dari rakyat jelata.
Nah dalam perjalanan tersebut, beliau melihat kerumunan orang yang sedang mendengarkan ceramah.

Setelah Baginda mendekat, benar juga perkiraannya kalau ada seorang ulama sedang menyampaikan petuah mengenai alam barzah.
Tanpa disadari siapa pun, tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ.

Orang tersebut langsung melontar pertanyaan kepada sang ulama,
"Kami telah menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, akan tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya.
Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"

Ulama itu berfikir sejenak kemudian berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan menggunakan panca indra yang lain.
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur?
Dia kadang kala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan lain sebagainya.
Ia juga merasakan sakit dan takut dan keringat pun bercucuran.
Ia merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur, sedangkan engkaumyang duduk disebelahnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata untuk melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam Barzah?"


Baginda Raja tertegun dengan penjelasan ulama itu.
Ulama itu melanjutkan kuliahnya dengan alam akhirat.
Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda.

Salah satu benda itu adalah Mahkota yang amat luar biasa indahnya dan tak ada yang lebih indah barang-barang di surga karena barangnya terbuat dari cahaya.
Saking indahnya maka satu mahkota jauh lebih baik dari dunia dan isinya.


Baginda Raja terkesan, dan beliau pulang kembali ke istana karena sudah tidak sabar lagi untuk menguji kemampuan Abu Nawas.
Abu Nawas pun dipanggil menghadap,
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota dari surga yang katanya tercipta dari cahaya itu.
Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"

"Sanggup Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula salah satu syarat yang akan hamba ajukan," pinta Abu Nawas.
"Sebutkan syarat itu," kata Baginda.

"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya," kata Abu Nawas.
"Pintu apa?" tanya Baginda.
"Pintu alam akhirat," jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda lagi.

"Kiamat.Wahai Paduka yang mulia.Masing-masing alam mempunyai pintu.
Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu.
Pintu alam Barzah adalah kematian.
Pintu alam akhirat adalah kiamat.
Surga berada di alam akhirat, bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat terlebih dahulu," jelas Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas tersebut, Raja terdiam.
Dan di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid tersebut, Abu Nawas bertanya lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" tanya Abu Nawas.

Baginda Raja tidak menjawab.
Beliau terdiam seribu bahasa.
Sejenak kemudian Abu Nawas pun mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawaban dari Baginda Raja.

Abu nawas Rahasia pikiran manusia

Baginda Raja Harun al Rasyid terlihat murung.
Semua menterinya tidak ada satu pun yang sanggup menemukan jawaban dari 2 pertanyaan Baginda Raja.

Bahkan para penasehat pun merasa tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan Baginda, padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena sangat penasaran, para penasehat kerajaan menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan 2 teka-teki yang membingungkan itu.

Tidak begitu lamapun Abu Nawas dihadapkan ke Raja.
Baginda mengatakan bahwa akhir-akhir ini beliau sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan mengungkap 2 rahasia alam.

Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas.
"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari 2 teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." jelas Baginda.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu, wahai Paduka?" tanya Abu Nawas.

"Yang pertama, dimanakah sebenarnya batas jagad raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa ragu.


"Tuanku yang mulia, ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan.
Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia.
Dari itu manusia tidak akan pernah tahu dimana batas jagad raya ini karena sesuatu yang terbatas tentu tidak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja mulai tersenyum karena puas dengan penjelasan Abu Nawas yang masuk akal itu.
Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya, bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?" tanya Baginda.
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan gesit.

"Bagaimana kamu bisa langsung memutuskan begitu, apakah kamu pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda.

"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah yang besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang saking banyaknya.
Dan bintang-bintang itu tidak pernah jatuh atau hilang meskipun jumlah mereka juga banyak." jelas Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu juga rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda Raja sirna tak berbekas.
Baginda Raja Haru al Rasyid memberi hadiah kepada Abu Nawas dan istrinya pakaian-pakaian yang indah menawan.

Mari kita ambil hikmahnya dari Kisah Abu Nawas ini sobat, bahwa pikiran kita yang menjadi sebab terjadinya ketidak terbatasan, keangkuhan, sombong serta merasa kurang terhadap apa yang telah diberikan Allah SWT kepada kita.
Syukurilah apa yang telah diberikan Tuhan, maka Insya Allah kita akan diberikan rejeki yang lebih baik dan lebih banyak.

Abu nawas memindahkan istana

Baginda Raja Harun al-Rasyid baru saja membaca sebuah kitab tentang kehebatan Raja Nabi Sulaiman yang mampu memerintahkan para jin untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya.
Tiba-tiba saja Baginda merasa tertarik.

Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama dengan Raja Sulaiman itu.
Secara tiba-tiba saja baginda ingin agar istananya dipindahkan ke atas gunung agar lebih leluasa melihat pemandangan alam sekitar.

Baginda pun berfikir sejenak, bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan oleh Abu Nawas yang terkenal amat cerdik di negerinya.
Tanpa membuang waktu, Abu Nawas segera dipanggil ke istana menghadap Baginda Raja Harun al-Rasyid.

Setelah menghadap, Baginda Raja berkata,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya baginda.

Abu Nawas diluar dugaan tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ia berfikier sejenak hingga keningnya berkerut.
Dalam hatinya ia berfikir kalau ia tidak mungkin menolak permintaan Baginda, kecuali memang ingin dihukum.

Setelah berfikir, Abu Nawas akhirnya terpaksa menyanggupi permintaan Baginda yang merupakan proyek raksasa itu.
Ada lagi permintaan dari Baginda, bahwa pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.

Abu Nawas pun pulang dengan hati menggerutu.
Setiap malam ia hanya berteman dengan bintang dan rembulan saja.
Hari demi hari dilewati dengan kegundahan dengan proyek yang mustahil itu.

Tiada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari itu.
tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Ya memang Imam Abu Nawas seorang yang cerdik lagi pandai.

Keesokan harinya Abu Nawas menuju ke istana.
Ia menghadap Baginda untukmembahasa pemindahan istana dan dengan senang hati Baginda akan mendengarkan apa yang diinginkan Abu Nawas.

"Ampun Tuanku, hamba datang kesini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti," kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?" tanya Baginda.
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada hari raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang 20 puluh hari lagi." jawab Abu Nawas.

"Kalau hanya itu usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda yang mulia." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih 10 ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu aku terima." kata Baginda yang menyetujui usul Abu Nawas.

Abu Nawas pun pulang dengan perasaan riang gembira.
Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, toh nanti bila waktunya tiba ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda ke atas gunung.
Jangankan hanya ke puncak gunung, ke dasar samudra pun Abu Nawas sanggupi.

Berita itu mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Hampir semua orang berharap cemas, tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin akan kemampuan Abu Nawas, karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang diberikan kepadanya.
Namun ada juga yang merasa ragu akan keberhasilan Abu Nawas kali ini.

Saat yang dinantikan akhirnya tiba juga.
Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan shalat Idul Qurban.
Dan seusai shalat, 10 sapi sumbangan dari Baginda disembelih lalu dimasak kemudian dibagikan kepada fakir miskin.

Nah kali ini giliran Abu Nawas yang harus melakukan tugas berat itu.
Abu Nawas pun berjalan menuju istana dan diikuti oleh rakyat.
Sesampainya di depan istana, Abu Nawas bertanya kepada Baginda.

"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?" tanya Abu Nawas.
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.

Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana.
Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu.
Akhirnya Baginda Raja tidak sabar juga.

"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." jwab Abu Nawas.
"Apa maksudmu sudah siap sejak tadi?
Kalau engkau sudah siap, lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda dengan heran.

"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba.
Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunug sesuai permintaan Padukan." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja yang mendengar penjelasan Abu Nawas ini merasa terpana.
Dalam hati di berfikir bahwa tiada mungkin seorang manusia pun di muka bumi ini yang menyamai kejayaan Raja Sulaiman.
Betapa cerdiknya si Abu Nawas ini dengan alasan yang masuk akal.

Masih ingat kan, pada saat Rasulullah SAW yang pada waktu shalat diganggu oleh Jin Ifrit, dan Beliau pun ingin menangkap Ifrit itu dan merantainya di tiang masjid.
Namu hal itu tidak Beliau lakukan karena teringat akan doanya Raja Sulaiman yang merupakan Raja dari segala raja yang tidak akan dimiliki oleh seorang pun setelah meninggalnya Nabi Sulaiman.

Abu nawas menipu gajah ajaib

Karena tidak ada yang harus dikerjakan di rumah, Abu Nawas keluar untuk mencari angin.
Jalan-jalan.
Abu Nawas bertanya kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah jalan.


Berikut Kisah Abu Nawas yang menipu Gajah ajaib:
"Ada kerumunan apa di sana?" tanya Abu Nawas.
"Pertunjukan keliling yang melinatkan gajah ajaib." jawab kawan Abu Nawas tersebut.
"Apa maksudmu dengan gajah ajaib?" tanya Abu Nawas lagi.
"Gajah yang bisa mengerti bahasa manusia dan yang lebih menkjubkan lagi adalah gajah itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja." jawab kawan Abu Nawas.


Abu Nawas makin tertarik.
Ia tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.


Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton.
Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukan itu, sang pemilik gajah dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuat gajah itu mengangguk-angguk.


Tidak heran bila banyak diantara para penonton yang mencoba untuk maju satu persatu.
Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat gajah ituk mengangguk-angguk, tetapi usaha mereka sia-sia.
Gajah itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.


Melihat kegigihan gajah itu, Abu Nawas semakin penasaran hingga ia maju untuk mencoba.
Setelah berhadapan dengan binatang berbelalai itu, Abu Nawas bertanya,
"Tahukah engkau siapa aku ini?"
Gajah menggeleng.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?" tanya Abu Nawas lagi .
Namun Gajah itu tetap saja menggeleng-gelengkan kepala.


"Apakah engkau takut kepada tuanmu?" tanya Abu Nawas memancing.
Gajah itu mulai ragu.
"Bila engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu." lanjut Abu Nawas mengancam.
Akhirnya gajah itu terpaksa mengangguk-angguk.


Atas keberhasilan Abu Nawas membuat gajah itu mengangguk-angguk maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak.
Bukan main marahnya pemilik gajah itu hingga memukuli binatang yang malang itu.
Pemilik gajah itu malu bukan kepalang.


Pada hari berikutnya, ia ingin menebus kekalahannya.
Kali ini ia melatih gajahnya mengangguk-angguk.
Bahkan ia mengancam akan menghukum berat gajahnya apabila sampai bisa dipancing penonton mengangguk-angguk terutama oleh ABu Nawas.
Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.


Saat-saat yang dinantikan telah tiba.
Kini para penonton ingin mencoba, harus sanggup membuat gajah itu menggeleng-gelengkan kepala.
Maka seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya, Abu Nawas maju lagi.
Ia ingin mengulang pertanyaan yang sama.


"Tahukah engkau siapa aku ini?" tanya Abu Nawas.
Gajah itu mengangguik.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?"
Gajah itu tetap mengangguk.


"Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?" pancing Abu Nawas.
Gajah itu tetap mengangguk.
Gajah itu mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap ancaman tuannya daripada Abu Nawas.


Akhirnya Abu Nawa mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam.
"Tahukah engkau apa guna balsam ini?" tanya Abu Nawas.
Gajah itu tetap mengangguk.
"Baiklah, bolehkah kogosok selangkangmu dengan balsam?"
Gajah itu mengangguk lagi.


Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu.
Tentu saja gajah itu merasa agak kepanasan dan mulai agak panik.
Kemudian ABu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar.
Bungkusan itu juga berisi balsam.


"Maukah engkau bila balsam ini aku habiskan untuk menggosok selangkangmu?" ancam Abu Nawas.
Gajah itu mulai ketakuta.
Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya sehingga terpaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mundur beberapa langkah.


Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara itu.
Abu Nawas telah meruntuhkan kegigihan gajah yang dianggap cerdik itu.
Pemilik gajah itu marah bukan main dan tidak tahu lagi harus bagaimana mengalahkan Abu Nawas.

Abu nawas dimanakah Allah SWT bersemayam

Sungguh tidak benar bila dikatakan kalau Baginda Harun Al Rasyid itu bukan seorang ahli pikir.
Hal ini terbukti dari cara beliau berkata, mengajukan pertanyaan dan tahu kapan harus bicara atau diam.
Bahkan baginda itu cermat dalam bertindak.

Meskipun Baginda Harun al Rasyid terkenal cerdik, namun beliau tidak segan-segan bertanya apabila memang tidak mengerti.
Suatu contoh saja misalnya ketika Baginda Harun menunaikan ibadah haji.Beliau bertanya dalam hati kenapa orang berputar-putar mengelilingi Ka'bah Baitullah.
Padahal orang yang menunaikan ibadah haji adalah tamu Allah.


Kenapa kalau sebagai tamu Allah tidak dipersilahkan masuk ke dalam Baitullah satu persatu.Pertanyaan ini belum terpecahkan hingga Baginda kembali ke Baghdad Irak.
Untuk kesekian kalinya, Abu Nawas dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda Raja.
Kemudian Baginda bertanya,"Wahai Abu Nawas, apakah arti Ka'bah Baitullah?"
"Ka'bah Rumah Allah, Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.

"Sebagai apakah orang yang menunaikan ibadah haji itu?" tanya Baginda selanjutnya.
"Sebagai tamu Allah, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.

"Kalau mereka sebagai tamu Allah mengapa tidak dipersilahkan masuk saja ke dalam Baitullah?" tanya Baginda lagi.
"Baitullah hanyalah sebagai lambang," kata Abu Nawas.
"Kalau begitu dimanakah Allah bersemayam?" tanya Baginda ingin tahu.
"Di dalam hati orang mukmin," jawab Abu Nawas.

"Karena tidak ada suatu ruang yang bagaimanapun luasnya mampu menampung Dzat Allah kecuali hati orang mukmin.Qalbul Mukmin Baitullah (hati orang mukmin adalah rumah Allah)," jawab Abu Nawas menjelaskan.

"Mengapa Baitullah dijadikan kiblat?" tanya Baginda.
"Untuk memudahkan pemahaman orang awam, Paduka yang mulia." kata Abu Nawas.

"Baitullah itu terlihat mata.Dari itu shalat syariat kiblatnya adalah Baitullah, yang waktunya ditentukan dan dengan bacaan tertentu pula.
Sedangkan shalat tharikat kiblatnya hati, waktunya bisa setiap saat dan bacaannya dzikir kepada Allah," Abu Nawas menjelaskan.

Baginda Raja Harun pun puas dengan jawaban Abu Nawas ini.

Abu nawas mengajari keledai membaca

Dengan menggunakan metode pengajaran yang khusus, ternyata Abu Nawas juga bisa menyulap seekor keledai yang dungu menjadi pintar membaca.
Meski keledai ini tetap memiliki kekurangan dibandingkan dengan manusia.

Ada saja orang yang iri akan kecerdikan Abu Nawas ini, termasuk para pembesar kerajaan yang ingin menjadi menteri kesayangan Raja.

Pada suatu hari seorang menteri kerajaan yang dipimpin oleh Harun al Rasyid tiba-tiba punya pikiran buruk kepada Abu Nawas.
Rupanya ia iri jati terhadap perhatian Raja yang begitu berlebihan terhadap Abu Nawas daripada dirinya.

Tanpa ada sebab, menteri itu memberikan seekor keledai kepada Abu Nawas.
"Ajari keledai itu membaca.
Dalam 2 minguu, datanglah kembali kemari dan kita lihat hasilnya," kata menteri itu.

Taruhan
Abu Nawas menerimanya dan kemudian pergi tanpa banyak kata.
Namun dalam hati ia masih was-was juga atas niat menteri itu.
"Apakah ini salah satu tipu dayanya untuk menghancurkan nama baikku?" tanya Abu Nawas dalam hati.

Abu Nawas berusaha cuek saja dan dalam 2 minggu kemudian ia kembali ke istana.
Tanpa banyak bicara, menteri mengajaknya menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.

"Baginda, akan aku tunjukkan siapa sebenarnya diriku ini," kata menteri itu dengan lantang.
"Hai menteri, ada apa dengan dirimu?" bentak Raja Harun.
"Tenang Baginda, hari ini Baginda akan tahu kecerdasan akal saya sebenarnya mengungguli kecerdasan Abu Nawas," ucap menteri.

"Apalagi yang akan dibuat oleh menteri ini," kata Abu Nawas dalam hati.
"Baiklah, jika salah satu dari kalian menang, maka ia berhak mendapatkan sekantung dinar ini, tetapi bagi yang kalah ia akan dihukum 3 bulan di penjara," titah Sang Raja.

Tanpa bisa megelak, Abu Nawas terpaksa menyanggupi permainan aneh itu.
Tiba-tiba menteri itu menunjuk ke sebuah buku besar.
"Coba buktikan jika keledai itu bisa membaca, bukankah engkau cerds dalam segala hal?" kata menteri kepada Abu Nawas.

Abu Nawas lalu menggiring keledainya ke buku itu dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu dan tak lama kemudian mulai membalik halamannya dengan lidahnya.
Terus menerus dibaliknya setiapa halaman sampai ke halaman terakhir.
Setelah selesai si keledai menatap Abu Nawas.

"Demikianlah, keledaiku bisa membaca," kata Abu Nawas.
Kini giliran si menteri itu menginterogasi.
"Bagaimana caramu mengajari dia membaca?" tanyanya.

Abu Nawas Mendapat Hadiah Dinar
"Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya.
Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa memakan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar." jelas Abu Nawas.

"Tapi bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?" tukas si menteri.
"Memang demikianlah cara keledai membaca, dia hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya.
Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai bukan?" jawab Abu Nawas.

Jawab Abu Nawas ini mendapatkan anggukan dari Baginda Raja.
Raja mengerti, sepintar-pintarnya hewan, tidak akan sanggup menjadi sesempurna manusia.
Hanya manusia bodoh saja yang tidak amu menggunakan akalnya untuk berfikir.
Akhirnya Abu Nawas mendapatkan hadiah sekantung dinar, sedangkan menteri masuk penjara.

Keledai ini cara membaca buku unik.
Dia hanya membuka halaman demi halaman saja, tapi kalau kita yang membaca bisa mengucapkan huruf demi huruf dan mengerti isinya jika dipahami benar.
Demikian Kisah Abu Nawas yang mengajari seekor keledai untuk bisa membaca.

Abu nawas hakim bertobat karena hadiah

Ini tentang Kisah Abu Nawas yang memberikan Hadiah kepada Hakim yang nakal, bukannya malah melaporkannya ke atasan.

Abu Nawas punya cara yang unik dalam memberikan pelajaran kepada para hakim nakal.
Eh..bukan dengan melaporkannya langsung kepada sang raja, tetapi Abu Nawas bahkan memberinya hadiah.
Akan tetapi justru dengan hadiah itu sang hakim menjadi sadar akan perbuatan zalimnya.

Ini kisahnya:
Pada suatu waktu kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Al Rasyid ini mengalami krisis keadilan.
Banyak hakim yang adil meninggal dunia dan raja salah dalam menunjuk orang sebagai hakim pengganti.
Akibatnya hakim pengganti itu tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat atas keadilan.

Para hakim pengganti itu berlaku menyimpang dan sama sekali tidak mengetahui hukum-hukum agama, sehingga tidak aneh jika kemudian muncul berbagai kebobrokan dan penyimpangan hukum yang dilakukan para hakim.

Tiadanya keadilan dan kebenaran, semakin meluasnya korupsi dan penyalahgunaan hukum seperti telah menjadi hal yang biasa.
Dalam kekuasaan tiran, ucapan penguasalah yang menjadi hukum dan kepentingan pribadi di atas segala-galanya.

Hadiah
Dalam hal ini Abu Nawas turut prihatin.
Dia pun lantas berinisiatif menyadarkan para hakim itu dengan caranya sendiri.

Pada suatu hari Abu Nawas mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian.
Namun hakim di kotanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangai perjanjian itu.
Keadaan ini terus berlangsung seperti itu sehingga Abu Nawas menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok (disuap).

Akan tetapi Abu Nawas mengetahui bahwa menyuap adalah hal yang diharamkam oleh agama.
Maka Abu Nawas pun memutuskan untuk melemparkan keputusan pada si hakim sendiri.

Abu Nawas menyiapkan sebuah gentong.
Gentong itu diisi dengan kotoran sapi hingga hampir penuh.
Kemudian di atasnya Abu Nawas mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya.

Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim.
Saat itu juga kesibukan sang hakim langsung hilang dan punya waktu untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian Abu Nawas.

"Tuan Hakim, apakah pantas Tuan mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?" tanya Abu Nawas mengelabuhi.
Sang hakim tersenyum sambil mengamati gentong itu.
"Ah...engkau jangan terlalu dalam memikirkannya," kata si hakim mulai terjebak tipu muslihat Abu Nawas.

Hakim tersebut lantas mncolek sedikit mentega dengan ujung jarinya lalu mencicipinya.
"Wah enak benar mentega ini." kata sang hakim.
"Ya..sesuai dengan ucapan Tuan, jangan terlalu dalam mencolek menteganya," jawab Abu Nawas.
Abu Nawas pun segera meninggalkan kantor sang hakim setelah mendapatkan tanda tangan si hakim.

Hakim Bertobat.
Hakim lantas pulang dengan hati yang riang gembira.
Dibawanya gentong itu lantas di panggillah istri dan anak-anaknya untuk bersama-sama makan pemberian Abu Nawas itu.

Awalnya mereka sekeluarga sangat menikmati mentega itu.
Namun begitu lapisan mentega itu habis, mereka mulai memakan kotoran sapi.
hehehe...dasar hakim zalim.

"Upsss...apa ini...baunya sangat busuk seperti kotoran hewan." kata hakim.
Hakim lantas teringat Abu Nawas.
Setelah berfikir panjang, ia baru sadar bahwa semua itu adalah ulah si Abu Nawas yang ingin menyadarkannya utnuk meninggalkan praktek suap menyuap dan menegakkan keadilan.

Hakim itu kemudian merasa sangat bersalah atas sikapnya selama ini.
Ia lalu mendatangi rumah Abu Nawas dan meminta maaf atas kekhilafannya.
Di hadapan Abu Nawas ia berjanji akan menjadi Hakim Yang Adil.

Nah...begitu donk pak hakim...jadilah hakim yang jujur dan adil, tegakkan keadilan melalui tanganmu.
Untuk Pak Abu Nawas, salut dech sudah meyadarkan pak hakim melalui caranya sendiri yang sangat halus dan mengena tanpa lapor ke atasan.

Abu nawas pertanyaan sama jawaban berbeda

Sebenarnya dibalik antara kejeniusan dan kejenakaan Abu Nawas, ia adalah seorang ulama yang alim.
Tak begitu heran jika Abu Nawas mempunyai banyak murid.

Nah diantara sekian banyak muridnya, ada seorang yang hampir selalu menanyakan kenapa Abu Nawas mengatakan ini dan itu.

Suatu ketika ada 3 orang tamu yang bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama namun jawabannya selalu berbeda.

Orang pertama bertanya,
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar ataukah yang mengerjakan dosa kecil?" tanya orang pertama.
"Orang yang mengerjakan dosa kecil." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" tanya orang pertama tadi.
"Sebab lebih mudah di ampuni oleh Alloh." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang yang kedua bertanya dengan pertanyaan sama.
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar atau orang mengerjakan dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" tanya orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan Alloh." jawab Abu Nawas.
Orang kedua itu langsung bisa mencerna jawaban dari Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa besar." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" tanya orang ketiga.
"Sebab pengampunan Alloh kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas.
Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas.
Akhirnya ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti, seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa memberikan jawaban yang berbeda?" tanya muridnya.

"Manusia dibagi menjadi 3 tingkatan.
Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati." jawab Abu Nawas.
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya muridnya.
"Anak kecil yang melihat bintang di langit, ia mengatakan bahwa bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas.

"Apakah tingkatan otak itu?" tanya muridnya.
"Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.

"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil walaupun ia tahu kalau bintang itu besar.
Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan ke-Maha Besaran Alloh SWT." jawab Abu Nawas.

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.

Murid Abu Nawas bertanya lagi.
Uh ini murid tanya mulu ya.
Maklum namanya juga murid.
Bertanyalah sebelum tersesat di jalan hehe.

"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?" tanya muridnya.
"Mungkin." jawab Abu Nawas.

"Bagaimana caranya?" tanya si murid penasaran.
"Dengan merayuNya melalui pujian dan doa." jawab Abu Nawas.

"Ajarkan pujian dan doa itu padaku wahai guru." pinta muridnya.
"Doa itu adalah:
Ilahi lastu lil firdausi ahla, walaa aqwa 'alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainnaka ghafiruz dzanbil 'adhimi." jawab Abu Nawas.

Arti doa tersebut adalah:
"Wahai Tuhanku, aku ini sama sekali tidak pantas menjadi penghuni surgaMu, tetapi aku juga tidak tahan terhadap panasnya api neraka.
Oleh sebab itu terimalah taubatku serta ampunilah dosa-dosaku.
Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar."

Suatu pujian sekaligus doa yang bagus untuk diucapkan tiap hari sob.
Tahukah sobat, orang yang pandai lagi berilmu pastilah meneteskan air mata jika mereka mengucapkan doa ini.
Ataukah sobat sendiri pernah mengalaminya kala bermunajat tengah malam sambil mengucapkan doa ini.

Kisah Abu Nawas ini menurutku sangat mendidik.
Pada tingkatan manakah sobat-sobat ini semua?
Apakah di tingkatan mata, otak atau hati.
Otak saja tanpa hati serasa kejam bagaikan singa tanpa mengenal ampun ke sesama.

Sungguh Alloh Maha Besar.
Sungguh benar Maha Benar Alloh dengan segala FirmanNya.

Kisah Abu Nawas yang minta tolong pada lalat.

Kisah Abu Nawas yang minta tolong pada lalat.

Abu Nawas hanya tertunduk lesu dan sedih ketika mendengarkan penuturan istrinya.
Tadi pagi beberapa pekerja dari kerajaan telah membongkar rumahnya dan mereka terus menggali tanpa bisa dicegah lagi.
Mereka mengatakan bahwa tadi malam Baginda Raja bermimpi kalau di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya.

Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan.
Baginda akhirnya meminta maaf kepada Abu Nawas dan bersedia mengganti kerugian.
Inilah yang membuat hati Abu Nawas sedih.

Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda.
Makanan yang dihidangkan istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap.
Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak dari tempat duduknya.

Keesokan harinya Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang mulai basi.
Tiba-tiba Abu Nawas tertawa riang.

"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi," kata Abu Nawas kepada istrinya.
"Untuk apa?" tanya istrinya.
"Membalas Baginda Raja." jawab Abu Nawas.

Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana.
Setibanya di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,
"Ampun Tuanku, hamba menghadap hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak di undang.
Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba," kata Abu nawas mengadu.

"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Lalat-lalat ini, Tuanku," jawab Abu Nawas.
"Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini." jelas ABu Nawas.

"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan?"
"Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu."

Baginda Raja tidak bisa menolak permintaan Abu Nawas karena pada sat itu para menteri sedang berkumpul di istana.
Maka dengan sangat terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu dimana pun mereka hinggap.

Tanpa menunggu perintah, Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini.
Dengan tongkat besi yang sudah dibawanya sejak tadi, Abu nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu, bahkan di kaca.

Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas.
Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang hinggap di tempayan Baginda Raja.

Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya.
Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri.

Barang-barag kesayangan Baginda banyak yang hancur dan bukan itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu.
Abu Nawas pulang dengan perasaan lega.
Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa saja yang dibawa dari istana.

Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Abu Nawas kali ini adalah bahwa kita harus selalu minta ijin jika bertamu ke rumah orang.
Jangan main selonong saja dan jangan mentang-mentang memiliki kekuasaan yang tinggi.

Adakah hal lain yang bisa kita ambil hikmahnya dari Kisah Abu Nawas kali ini.
Silahkan beri tanggapan.

Abu Nawas menghindari hujan

Kisah Abu Nawas kali ini menceritakan tentang bagaimana Abu Nawas menghindari hujan agar bajunya tidak basah saat makan siang di tempat peristirahatan Baginda saat mereka sedang menuju tempat berburu di hutan.

Tak diragukan lagi, sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka ia akan mendapat hukuman.
Baginda mengetahui bahwa Abu Nawas sangat takut akan beruang.
Maka dari itu Baginda mengajaknya berburu di hutan untuk mengkap beruang, dan Abu Nawas tak bisa menolaknya.

Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung,
Baginda memenggil Abu Nawas.

"Tahukah mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda.
"Ampun tuanku, hamba belum tahu." kata Abu Nawas.

"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan.
Hutan dari sini masih jauh, kau aku beri kuda yang lamban, sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat.
Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku.
Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering.
Sekarang kita berpencar." jelas Baginda.

Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak.
Abu Nawas kini tahu bahwa Baginda akan menjebaknya.
Ia harus mencari akal agar bajunya tidak basah saat hujan turun.
Dan ketika sedang berfikir, tiba-tiba hujan pun turun.

Begitu hujan turun, maka Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan terdekat.
Akan tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup.

Ketika santap siang, Baginda segera menuju tempat peristirahatan, dan ketika itu juga Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban.
Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah, padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat perlindungan terdekat.

Nah pada hari yang kedua, Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi oleh Baginda.
Kini Baginda dan para pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang lamban.
Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin.
Baginda dan pengwalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang.

Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya.
Abu Nawas menunggu Baginda Raja.
Selang beberapa saat, Baginda dan para pengawal akhirnya datang juga dengan pakaian yang basah kuyup.

Baginda tak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan Abu Nawas.
Rahasia apakah yang telah dipakai oleh Abu Nawas.
"Terus terang bagaimana caranya menghindari hujan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Mudah Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas dengan tersenyum.

"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat saya tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini," kata Baginda.
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.
Tetapi begitu hujan turun, maka hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya kemudian saya mendudukinya.
Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti," jelas Abu Nawas.

Ahaaa rupanya dengan diam-diam Baginda Raja mengakui lagi kecerdikan Abu Nawas.
Lo kenapa tidak pakai jas hujan saja Baginda ini ya haha.

Abu nawas antara sahabat dan keyakinan

Kisah Abu Nawas kali ini dengan judul "Antara Sahabat dan Keyakinan"

Berikut Kisahnya:

"Abu Nawas...." kata Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
"Daulat Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.
"Aku akan beterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau aku panggil bukan untuk kupermainkan atau aku perangkap.
Tetapi aku benar-benar memerlukan bantuanmu." kata Baginda.

"Apakah gerangan yang bisa hamba lakukan untuk paduka?" tanya Abu Nawas.

Pertanyaan Baginda:
"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan dari negeri sahabat, kebetulan rajanya beragama Yahudi.
Raja itu adalah sahabat karibku hingga begitu berjumpa denganku, dia langsung mengucapkan salam secara Islam.
Aku tidak menduga sama sekali.

Tanpa pikir panjang aku membalas salamnya sesuai dengan ajaran agama kita yaitu kalau mendapat salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu).
Tentu saja dia merasa tersinggung.
Dia menaynyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa keselamatan dengan jwaban yang mengandung kecelakaan.

Saat itu sungguh aku tak bisa berkata apa-apa selain diam.
Pertemuanku dengan dia selanjutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran Islam, akan tetapi dia tidak bisa menerima penjelasanku.

Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya.
Namun bila engkau mempunyai alasan lain yang bisa aku terima, kita akan tetap bersahabat, begitu kata sahabat karibku itu."

"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin hamba bisa memberikan alasan yang dikehendaki Raja sahabat paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan Baginda.

Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang dan Raja pun berulang-ulang menepuk pundak Baginda.
Wajah Baginda yang semula gundah gulana seketika itu berubah cerah.

"Cepat katakan wahai Abu Nawas, jangan biarakan aku menunggu." kata Baginda tak sabar.

Jawaban Abu Nawas:
"Baginda yang mulia...memang sepantasnyalah kalau Raja Yahudi itu menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.
Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan dari siksa api nerakan dan kesejahteraan menuju surga.

Bukankah Islam mengajarkan tauhid yang berarti tidak menyekutukan Allah SWT, juga termasuk tidak menganggap Allah mempunyai anak.
Nah ajaran tauhid ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja Yahudi sahabat paduka itu.

Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair adalah anak Allah.
Maha Suci Allah dengan anggapan itu dan tidak pantas Allah mempunyai anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapak Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu) bukan berarti mendoakan agar kamu celaka.
Akan tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran Islam yang masih bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru."

Seketika itu juga kegundahan Baginda Raja Harun Al-Rasyid sirna.
Kali ini saking gembiranya, Baginda menawarkan agar Abu Nawas memilih sendiri hadiah apa yang disukai.
Namun Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan,

Mohon maaf untuk yang beragama lain selain Islam.
Semata hanya kisah saja yang dicuplik dari lembaran hadits Rasulullah SAW yang diulas melalui cerita agar lebih mudah dipahami.
Related Posts Widget for Blogger

Kisah Abu Nawas kali adalah tentang sayembara Raja untuk menjawab pertanyaan mengenai dahulu mana antara telur dan ayam

Kisah Abu Nawas kali adalah tentang sayembara Raja untuk menjawab pertanyaan mengenai dahulu mana antara telur dan ayam.

Dulu mana telur apa ayam ya.
Abu Nawas menjawab apa ya.
Semua mungkin sudah tahu cerita Abu Nawas yang ini dan tahu jawabnya pula.

Berikut kisahnya:

Karena melihat ayam betinaya bertelur, Baginda tersenyum kegirangan.
Baginda memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan akan mengadakan sayembara untuk umum.

Sayembara itu adalah berupa pertanyaan yang mudah akan tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal.
Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu, maka akan mendapat imbalan yang sangat menggiurkan, yaitu satu pundi emas.
Akan tetpai bila tidak bisa menjawab maka akan di hukum.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu, terutama orang-orang miskin.
Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur karena imbalannya besar.
Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tidak mengherankan apabila pesertanya hanya 4 orang saja.
Dan salah satunya adalah Abu Nawas.

Aturan main sayembara itu ada 2:
1. Jawaban harus masuk akal.
2. Peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.

Pada hari yang telah ditentukan, peserta sudah siap di depan panggung.
Baginda duduk di atas panggung dan memanggil peserta pertama.

Peserta Pertama.
Baginda bertanya,
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?"
"Telur." jawab peserta pertama.
"Apa alasannya?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." jelas peserta pertama.
"Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda.

Peserta pertama pucat pasi tak mampu menjawabnya.
Wajahnya mendadak berubah putih seperti kapas.
Ia tidak bisa menjawab.
Tanpa ampun lagi ia dimasukkan ke dalam penjara.

Peserta Kedua.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan." jawab peserta kedua.
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.
Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa di erami." jelas peserta kedua.

"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan.
Peserta kedua ini bingung menjawabnya dan akhirnya dijebloskan juga ke penjara.




Peserta Ketiga.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur." jawab peserta ketiga.
"Sebutkan alasanmu." kata Baginda.
"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan.

"Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang, sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan, telurnya di erami sendiri.
Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan.
Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." jelas peserta ketiga.

"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?" sanggah Baginda.
Peserta ketiga pun tidak mampu menjawab sanggahan dari baginda.
Ia pun dijebloskan ke dalam penjara.

Peserta Keempat.
Kini tiba giliran peserta yang terakhir, yaitu Abu Nawas.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam." jawab Abu Nawas.
"Coba terangkan alasanmu secara logis." kata Baginda ingin tahu.
"Ayam bisa mengenal telur, sedangkan sebaliknya telur tidak bisa mengenal ayam." jelas Abu Nawas.

Baginda hanya bisa geleng-geleng saja denga jawaban Abu Nawas ini sambil berfikir kok bisa jawabannya kenal mengenal..
Kali ini Baginda tidak menyanggah alasan Abu Nawas.

Abu nawas kaya tanpa bekerja

Setiap orang pasti butuh uang.
Kisah Abu Nawas kali ini menceritakan tentang petualangan Abu Nawas yang kaya tanpa bekerja.

Sekilas Rumah Tangga Abu Nawas.
Kehidupan Abu Nawas memang tak seberuntung kawan-kawannya yang lain ataupun para saudagar yang pernah ditemuinya.

Abu Nawas hidup dalam rumah yang sangat sederhana dan tidak memiliki harta benda yang melimpah ruah.
Walau pun begitu Abu Nawas selalu ikhlas dan mampu melewati setiap rintangan yang dijumpai dalam kehidupannya.

Abu Nawas tinggal serumah bersama dengan seorang istri.
Abu Nawas dapat pula meyakinkan istrinya bahwa akan selalu ada jalan bagi mereka yang ikhlas menjalani rintangan yang diberikan Allah SWT.

BERDOA.
Suatu hari istri Abu Nawas mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Dirinya mengaku tak kuasa lagi dengan beban hidup yang ditanggungnya.

Istri Abu Nawas mengeluh karena suaminya tak memiliki penghasilan sehingga tak mampu memberinya nafkah.

"Suamiku, kapan kau berikan sebuah gaun indah.
Hidupmu hanya kau habiskan untuk berdoa saja," ucap istri Abu Nawas.
"Tapi semuanya kulakukan dengan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT," jawab Abu Nawas.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah SWT," sahut istri Abu Nawas.

Seketika itu juga, Abu Nawas langsung pergi ke pekarangan rumahnya.
Dengan berbekal alat peribadatan yang lengkap, Abu Nawas mulai bersujud untuk menyampaikan permohonan-permohonannya kepada Allah SWT.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" ujar Abu Nawas dengan suara lantang dan dilakukannya berulang-ulang.

Rupanya suara Abu Nawas terdengar oleh salah seorang tetangganya yang sedang beristirahat di depan rumah.
Tak lama kemudian, tetangga Abu Nawas memiliki keinginan untuk berbuat usil dengan melemparkan seratus keping perak ke kepala Abu Nawas.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" teriak Abu Nawas untuk kesekian kalinya dan diikuti sebuah koin seratus perak jatuh tepat di atas kepalanya.
Abu Nawas yang terkejut, langsung lari ke dalam rumah sambil membawa uang yang baru saja di dapatkan kepada istrinya.

"Istriku, aku memang wali Allah dan aku baru saja mendapatkan upah dari Allah SWT," tutur Abu Nawas.
Tapi tetangga Abu Nawas tadi tidak terima kalau uang yang dilemparkannya tadi menjadi milik Abu Nawas.

Oleh karena itu, pintu rumah Abu Nawas langsung digedor oleh tetangganya tadi.
"Hai Abu Nawas, kembalikan uang yang baru saja aku lemparkan tadi.
Itu milikku!" ucap tetangga itu.

MENANG DALAM SIDANG.
"Bagaimana mungkin uang itu milikmu.
Aku memohon kepada Allah dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah," jawab Abu Nawas.

Tetangga yang usil tadi tidak terima dan mengajak Abu Nawas agar diselesaikan dipengadilan.
Tak lama kemudian mereka sudah di pengadilan dan menjalani sidang.

"Apa pembelaanmu wahai Abu Nawas?" tanya Hakim.
"Tetangga saya ini gila Tuan Hakim.
Ia pikir semua yang ada di dunia ini adalah miliknya.
Coba saja tanyakan misalnya jubah saya, kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya," jawab Abu Nawas.

"Tapi itu semua memang milikku!" teriak tetangganya yang kaget akan pernyataan Abu Nawas tersebut.

Bagi sang hakim, bukti-bukti yang diterimanya sudah cukup untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Hakim memutuskan bahwa Abu Nawas menang dan uang yang jatuh di kepalanya menjadi miliknya.
Ha ha ha...

Itulah kisah si Abu Nawas.
Lucu juga.
Hikmah yang bisa diambil:
-Selalu berdoa dengan ikhlas.
-Kerjalah kalau ingin mendapat uang.
-Jangan usil ke tetangga.
-Harta di dunia hanya titipan jangan lupa sedekah.

Salam.
Related Posts Widget for Blogger

Abu Nawas lolos dari maut karena cerdik.

Abu Nawas lolos dari maut karena cerdik.
Abu Nawas memang terkenal cerdas dan cerdik dalam menghadapi suatu persoalan.
Begitu pula saat dirinya terhindar dari kekejaman seorang Raja yang telah banyak membunuh para ulama.

Kisah Abu Nawas selanjutnya adalah sebagai berikut:

Pada suatu masa, raja yang memimpin wilayah tempat Abu Nawas tinggal telah terjadi peperangan.
Dengan kemenangan perang tersebut berarti Raja telah memperluas wilayah kekuasaannya.

Walaupun sudah banyak wilayah yang ditundukkan, namun Raja juga ingin menghabisi setiap nyawa para ulama dan kaum cendikiawan yang ada di wilayah barunya.

Ulama Diundang ke Istana.
Raja mengundang para ulama untuk datang ke istananya tanpa terkecuali kemudian dikumpulkan ke aula kerajaan.
Para ulama kebingungan ada apa sebenarnya mereka kok dikumpulkan.

Tak lama kemudian, Raja muncul dengan mengenakan jubah lengkap dengan membawa sebilah pedang panjang di tangan kanannya.
Raja kemudian melontarkan pertanyaan satu persatu kepada para ulama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja dengan bengis.

Para ulama yang hadir tak bisa menghindari tkadir yang telah digariskan.
Dengan pilihan yang diberikan oleh Raja, mereka meninggal dunia satu persatu di tangan Raja yang kejam.

Semua ulama tak memiliki pilihan yang lebih baik, begitu pula dengan jawaban para ulama yang pasrah oleh pilihan yang diberikan Raja.
Mereka tak bisa berbuat banyak.

Pertemuan Abu Nawas dan Raja Kali Pertama.
Setelah banyak korban yang berjatuhan, kini tibalah Abu Nawas yang diundang oleh Raja untuk hadir ke istananya.
Ini adalah perjumpaan resmi ABu Nawas yang pertama kalinya dengan sang Raja.

Namun, sebelum mendatangi istana, rupanya Abu Nawas sudah mendengar kabar tentang kekejaman Raja terhadap para ulama.
Tepat di aula ditengah-tengah istana, Raja yang sudah menanti kedatangan Abu Nawas kembali melontarkan pertanyaan yang sama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja.

Abu Nawas mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir sejenak.
Tak berapa lama kemudian, dengan kecerdikannya selama ini, Abu Nawas pun menjawab pertanyaan Raja.

"Sesungguhnya, kami para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang yang lalim dan abai.
Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami," jawab Abu Nawas.

Setelah berfikir sejenak, Raja pun mengakui kecerdikan Abu Nawas.
Raja pun akhirnya membebaskan Abu Nawas, begitu pula para ulama lain.
Itulah sebuah kisah dan dongeng Abu Nawas kali ini.

Abu nawas mewujudkan mimpi

Sebuah Kisah Abu Nawas yang cerdik mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.

Seandainya saja Abu Nawas mau, maka sudah sejak dulu ia menjadi kaya raya dan hidup makmur bersama anak istrinya.
Karena Abu Nawas berkali-kali memperoleh sepundi penuh uang emas.
Hadiah-hadiah yang melimpah ruah tersebut habis, karena dibagi-bagikan kepada orang-orang yang sangat memerlukan.

Abu Nawas memang dikenal sebagai orang yang suka membela orang-orang yang lemah dan tertindas.
Suatu hari ada seorang laki-laki yang mengadukan nasibnya yang amat buruk.

Tak seorang pun berani menolong karena masalahnya melibatkan penguasa yaitu seorang hakim.
Maka ia disaranka agar minta tolong kepada Abu Nawas.

Laki-laki itu bercerita kepada Abu Nawas.
"Ketika tidur aku bermimpi berdagang dengan Tuan Hakim.
Aku membeli dagangan beliau dengan jumlah yang amat besar hingganilainya mencapai ribuan dinar.
Namum ketika aku melakukan pembayaran aku terjaga," kata laki-laki itu.

"Lalu apa masalahmu?" tanya Abu Nawas.

"Kemudian aku menceritakan mimpiku itu kepada teman dan tetangga.
Dan tak kusangka-sangka mimpiku itu tersebar kemana-mana.
Ketika Tuan Hakim mendengarnya, dia langsung ke rumah mencariku dan meyita rumahku dan isinya.
Dia tidak peduli walaupun itu hanya terjadi dalam mimpi.
Karena aku dianggap melanggar hukum.
Menurut dia, mestinya aku segera melaporkan tentang mimpiku kepadanya kemudian langsung melakukan pembayaran.
Kini aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.
Tolonglah aku Wahai Abu Nawas...," laki-laki itu bercerita.

Abu Nawas gemas mendengar pengaduan laki-laki itu.
Ia menyanggupi akan membantu laki-laki itu dan berjanji akan mengembalikan semua kekayaan yang telah dirampas oleh Hakim dengan semena-mena.

Abu Nawas mengumpulkan seluruh murid-muridnya.
"Kita wajib membantu orang yang memang memerlukan pertolongan.
Besok tepat setelah shalat subuh kita hancurkan rumah hakim yang terkenal zalim itu.
Sekarang siapkan peralatan yang dibutuhkan," kata Abu Nawas dengan serius.

Murid-murid Abu Nawas menyiapkan segala sesuatunya tanpa membantah sedikit pun.
Setelah mengerjakan shalat jamaah subuh, Abu Nawas bersama-sama muridnya berangkat menuju rumah Hakim.
Dan tanpa perintah lagi mereka mulai menggempur rumah Hakim.
Tuan Hakim yang sedang tidur lelap tiba-tiba terbangun karena kegaduhan itu.

Karena jumlah murid Abu Nawas yang begitu banyak, tuan Hakim tidak berani mencegah.
Ia berlari menuju istana untuk melaporkan kepada Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas pun segera dipanggil menghadap Baginda.

"Wahai Abu Nawas, benarkah engkau dan murid-muridmu ingin merobohkan rumah tuan Hakim?" tanya Baginda.
"Benar Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Apa yang menyebabkan engkau berbuat begitu?
Bukankah engkau tahu bahwa perbuatan seperti itu tergolong tindakan pidana dan bisa dihukum?" tanya Baginda.

"Baginda yang mulia, sebenarnya yang menyebabkan hamba nekat berbuat begitu hanya karena mimpi," kata Abu Nawas menjelaskan.
"Hanya karena mimpi?" tanya Baginda hera.
"Betul Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.

"Mimpi apa?" tanya Baginda penasaran.
"Hamba bermimpi telah membeli rumah tuan Hakim.
Hamba merencanakan rumah tuan Hakim yang telah hamba bayar itu untuk dijadikan masjid.
Dari itulah hamba memerintahkan murid-murid hamba untuk merobohkannya," jelas Abu Nawas.

"Undang-undang yang mana yang membenarkan perbuatyan seperti itu hai Abu Nawas?" kata Baginda mulai marah.
"Undang-undang yang dirancang oleh tuan Hakim sendiri, Baginda junjungan hamba," jawab Abu Nawas meyakinkan.
"Apa maksudmu?" tanya Baginda belum mengerti.

Abu Nawas lalu bercerita tentang nasib laki-laki yang malang itu.
Mendengar cerita Abu Nawas, Baginda Raja naik pitam.
"Ini betul-betul perbuatan yang tidak masuk akal.
Hai Hakim, benarkah apa yang diceritakan Abu Nawas?" tanya Baginda kepada hakim itu.

"Sepenuhnya benar Tuanku yang mulia," jawab tuan Hakim dengan tubuh gemetar.
"Engkau sebagai hakim mestinya tidak melanggar undang-undang.
Engkau seharusnya menjaga dan menerapkan undang-undang dengan baik dan adil.
Namun engkau dengan kekuasaan yang aku berikan malah merobek-robek keadilan dengan melakukan penyitaan harta orang lain hanya karena mimpi," murka Baginda kepada hakim.

"Ampun Baginda yang mulia," jawab Hakim.
"Itu adalah perbuatan yang paling memalukan yang pernah aku dengar.
Sekarang engkau harus mengembalikan semua harta dan rumah yang engkau sita kepada laki-laki itu," murka Baginda lebih lanjut.

Di samping harus mengembalikan harta dan rumah, tuan Hakim yang zalim itu juga mendapat hukuman dari Baginda Raja.
Abu Nawas telah mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan.
Hakim yang jahat.
Kok bisanya membuat undang-undang sendiri.
Memang berlian harus digosok dengan berlian.

Abu nawas menangkap dan memenjarakan angin

Menangkap dan memenjarakan angin.

Itulah judul dari kisah abu nawas kali ini.
Rasanya kok sulit ya untuk dilaksanakan oleh Abu Nawas ini.

Al kisah...
Abu Nawas kaget bukan main saat seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya.
Ia diharuskan menghadap Baginda secepatnya.
Pikiran Abu Nawas bertanya-tanya, permainan apalagi yang akan dihadapi kali ini.

Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
GR langsung tuh Abu Nawas...

"Akhir-akhir ini aku sering mendapt gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku terkena serangan angin," kata Baginda memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil," tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya," kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Ia tidak memikirkan cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat.
Tida ada benda yang lebih aneh dari angin.
Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat.
Sedangkan angin tidak.

Parahnya lagi, Baginda hanya memberi waktu tidak lebih dari 3 hari.
Abu nawas pulang dengan membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja.
Namun Abu Nawas tidak begitu sedih.

Karena berpikir adalah sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan.
Ia yakin bahwa dengan berfikir akan terbentanglah jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.
Dan dengan berfikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin.
Karena tak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.

Akan tetapi sudah 2 hari ini si Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya.
Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan oleh Baginda Raja.
Abu Nawas hampir putus asa.
Abunawas benar-benar tidak bisa tidur walaupun hanya sekejap.

Mungkin sudah takdir, kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda.
Ia berjalan gontai menuju istana.

Nah...
Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia teringat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
"Bukankah jin itu tidak terlihat?" guman Abu Nawas.
Ia langsung kegirangan dan segera berlari pulang.

Sesampainya di rumah, ia secepat mungkin segala sesuatunya kemudian menuju istana.
Di pintu gerbang istana, si Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin hai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan wajah berseri-seri.

Abu Nawas kemudian mengeluarkan botol yang sudah disumbat.
Kemudian botol tersebut diserahkan kepada Baginda.
Baginda Raja menimang-nimang botol itu sebelum bertanya lebih lanjut.

"Mana angin itu hai Abunawas?" tanya Baginda.
"Di dalam, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Aku tak melihat apa-apa," kata Baginda.
"Ampun Tuanku, memang angin tidak bisa dilihat, tetapi bila paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu," kata Abu Nawas menjelaskan.

Setelah tutup botol dibuka, Baginda mencium bau busuk.
Bau busuk yang sangat menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah.
"Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol.
Karena hamba takut, angin yang hamba buang itu keluar.
Maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol," jelas Abu Nawas.

Akan tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal.
Untuk kesekian kalinya Abu Nawas selamat.

Abu nawas menjual raja

Kisah Abu Nawas kali ini akan menceritakan bahwa si Abu Nawas menjual Rajanya.
Woo berani sekali ya si Abu Nawas ini.

Berikut Kisahnya:
Belum pernah Abu Nawas merasa menyesal dan seputus asa akhir-akhir ini.
Sudah 2 hari dapurnya tidak mengepul asap lagi karena tidak ada lagi barang yang busa dijual.

Sebenarnya Abu Nawas bisa saja menjual salah seorang dari teman-temannya untuk dijadikan budak oleh pembelinya.
Tetapi Abu Nawas tidak tega, apalagi kebanyakan teman-teman Abu Nawas adalah orang-orang yang miskin.
Namun bagaimanapun juga ia harus menjual manusia karena Abu Nawas sudah merasa tidak memiliki sesuatu barangpun yang patut untuk dijual.

Dengan tekat yang amat bulat, Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja.
Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang pantas untuk dijual.
Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya...

Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang ini giliran Abu Nawas menyusahkan Baginda Raja.
Akhirnya Abu Nawas menghadap Baginda Raja dan berkata,
"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia," kata Abu Nawas memulai.
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung penasaran.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas dalam benak Paduka yang mulia," kata Abu Nawas meyakinkan.

"Kalau begitu cepatlah ajak aku kesana untuk menyaksikannya," kata Baginda.
"Tetapi Baginda...," lanjut Abu Nawas.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu," jelas Abu Nawas.


Karena begitu besar keinginantahuan Baginda Raja, maka Raja bersedia menyamar sebagai rakyat kecil seperti yang diusulkan oleh Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al-Rasyid berangkat menuju sebuah hutan.

Setibanya di hutan, Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ.
Sementara itu Abu Nawas menemui seorang kenalan yang pekerjaannya menjual budak.
Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh.

Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya.
Maka dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata.
Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan, ia merasa cocok.
Abu Nawas pun membuat surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu.
Setelah itu Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.

Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di bawah pohon ketika pedagang budak menghampirinya.
Ia belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya.
Baginda juga merasa heran kenapa ada orang lain di situ.

"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedang budak itu.
"Aku adalah tuanmu sekarang," kata pedagang budak agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja dalam pakaian yang amat sederhana itu.

"Apa maksud perkataanmu?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya," kata pedagang budak itu dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda dengan murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?"
"Tidak dan itu tidak perlu," kata pedagang budak itu dengan ketus.
"Aku adalah Rajamu, Sultan Harun Al-Rasyid," kata Baginda sambil menunjukkan tanda pengenal kerajaan.

Pedagang itu terperanjat dan mulai mengenal Baginda Raja.
Ia pun langsung menjatuhkan diri sembari meyembah Baginda Raja.
Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu.
Akan tetapi kepada Abu Nawas, Baginda amat murka dan gemas.
Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas.
Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti kertas hehe...

Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya untuk menagkap Abu Nawas.
Tetapi Abu Nawas telah raib entah kemana karena ia tahu sedang diburu oleh prajurit kerajaa.
Dan setelah Abu Nawas tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, barulah ABu Nawas berani pulang.

Abu Nawas mulai menceritakan kepada istrinya apa yang sebenarnya terjadi.
Abu Nawas akhirnya memutuskan untuk mengelabui Baginda dengan cara berpura-pura mati.
Abu Nawas hanya bisa berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang.

Kini kabar kematian Abu Nawas mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Baginda sangat terkejut, marah dan geram sebenarnya.
namun juga merasa kasihan juga mendengar kabar kabar meninggalnya, mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.

Baginda Raja beserta beberapa pengawalnya menuju rumah Abu Nawas.
Setelah melihat tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja merasa terharu dan meneteskan air mata.
Beliau bertanya kepada istrinya.

"Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?" tanya Baginda.
"Ada Paduka yang mulia," jawab istri Abu Nawas sambil menagis.
"Katakanlah," kata Baginda.
"Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya di depan rakyat," kata istri Abu Nawas terbata-bata.

"Baiklah kalau itu permintaan terakhir Abu Nawas," kata Baginda menyanggupi.
Kemudian Baginda Raja mengumpilkan rakyatnya di tanah lapang dan berkata,
"Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini, aku Sultan Harun Al-Rasyid telah memaafkan semua kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku.
Dan kalianlah sebagai saksinya," Ujar Baginda.

Begitu mendengar pengampunan dari Baginda Raja Harun Al-Rasyid sendiri, Abu Nawas lekas-lekas beranjak dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bginda.
Haahaaa

Abu nawas mengobati penyakit aneh

Kali ini kisah abu nawas akan menyajikan tentang cara mengobati penyakit aneh yang di derita oleh pangeran.

Al Kisah...
Sang Pangeran sedang sakit.
Puluhan tabib telah dikerahkan untuk menyembuhkan pangeran.
Namun...
Apa yang terjadi sungguh mengherankan karena jangankan mengobati penyakit pangeran.
Mengetahui penyakitnya saja tidak tahu.

Para tabib yang terkenal menyerah tanpa bisa berbuat banyak.
Maka tak ada jalan keluar, kecuali mengadakan sayembara.

Raja memerintahkan agar sayembara diumumkan secepatnya.
Sayembara ini boleh di ikuti oleh rakyat dari semua lapisan.
Tak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga.

Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan ini dalam waktu beberapa hari saja berhasil menyerap ratusan peserta.
Namun dari ratusan peserta itu tak ada satu pun dari mereka yang berhasil mengobati sang pangeran.


Akhirnya...
Sebagai sahabat dekat, Baginda Raja Harun Al-Rasyid menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.
Baginda Harun Al-Rasyid mengatakan bahwa salah seorang rakyatnya yang bernama Abu Nawas mungkin bisa menolong, karena selama ini belum pernah ada masalah yang tidak berhasil dipecahkannya.

Hayo...
Kena lagi tuh si Abu Nawas.
Harus mentaati perintah Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
Kalau tidak bisa, dipotong nanti kepalanya.
Hukuman pancung...

Raja sahabat Baginda Harun Al-Rasyid menerima usul itu dengan penuh harapan.
Abu Nawas pun segera diundang ke negeri tetangga.

Abu Nawas sadar sesadar-sadarnya bahwa dirinya bukan tabib.
Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa.
Para tabib yang ada di istana tercengang karena Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin diperlukan.

Mereka berfikir mungkinkag orang macam Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran ya.
Sedangkan para tabib yang terkenal dengan perlengkapan lengkap saja tak mampu mengobati penyakit sang pangeran, bahkan penyakitnya saja tak diketahui sakit apa.

Bisa tidak ya Abu Nawas Mengobati Penyakit Sang Pangeran.
Semua pandangan tertuju ke Abu Nawas, namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya.
Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar sang pangeran yang sedang terbaring.
Ia menghampiri pangeran dan duduk di sisinya.

Dialog Abu Nawas.
Setelah Abu Nawas dan pangeran saling berpandangan beberapa saat, Abu Nawas berkata,
"Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering menyusuri pelosok negeri."

Dan orang tua yang di inginkan Abu Nawas didatangkan.
"Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah selatan," perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.

Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya di dada sang pangeran.
Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur.

Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohong agar di izinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara.
Raja pun merasa heran.

"Engkau kuundang kesini bukan untuk bertamasya," kata Raja.
"Hamba tidak bermaksud berlibur yang mulia," jawab Abu Nawas.
Tetapi aku belum paham wahai Abu Nawas," kilah Raja.
"Maafkan hamba, paduka yang mulia, rasanya kurang bijaksana kalau hamba jelaskan sekarang," jawab Abunawas.

Rajapun akhirnya memberi ijin kepada Abunawas untuk pergi ke desa sebelah utara.
Selama 2 hari abunawas pergi, dan sekembalinya ke istana, dia langsung menemui sang pangeran.

Abu Nawas membisikkan sesuatu ke pangeran, kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran.
Lalu Abu nawas menghampiri raja.


"Apakah yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?" tanya Abu Nawas.
"Apa maksudmu?" balas Raja bertanya.
"Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini," jelas abunawas.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Raja.
"Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan, tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini.
Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada baginda."

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau tidak?" kata Raja penuh ragu.
"Cinta itu buta Baginda, bila kita berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati."

Aha..
Rupanya saran Abunawas tidak bisa ditolak oleh Raja.
Sang Pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.

Abunawas benar.
Begitu mendengar persetujuan Sang Raja, sang pangeran berangsur-angsur pulih.
Sebagai tanda terima kasih, Raja memberi Abunawas sebuah permata amat indah..

Abu nawas mencari keadilan dengan pedang

Kisah Abu Nawas kali ini akan menyajikan tentang kecerdikan Si abu Nawas dalam mengadili ibu muda yang saling memperebutkan ibu kandunganya.


Kisahnya.
Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki, rebutan.
Hakim rupanya mengalami kesulitan untuk memutuskan permpuan mana yang sebenarnya ibu si bayi itu.

Karena berlarut-larut, terpaksa Hakim menghadap Baginda untuk minta bantuan.
Akhirnya Baginda Raja turun tangan, taktik dan rayuan digunakan, namun tetap saja kedua ibu tadi saling ngotot mempertahankan.
Baginda putus asa.

Mengingat tak ada cara lain lagi, seperti biasanya Raja memanggil Abunawas, dan Abu Nawas harus menggantikan hakim untuk sementara waktu.
Abu Nawas tidak menjatuhkan putusan hari itu, namun ia menunda sampai hari berikutnya.
Mencari akal...

Keesokan harinya, sidang pengadilan mulai dilanjutkan lagi.
Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan, dan memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.

"Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?" kata kedua perempuan itu dengan heran dan saling pandang.
"Sebelum aku mengambil tindakan, apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang berhak memilikinya?" kata Abu Nawas.

"Tidaak...bayi itu adalah anakku.." kata kedua perempuan itu secara serentak.
"Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah, maka aku dengan sangat terpaksa akan membelah bayi itu menjadi dua sama rata." jawab Abu Nawas mengancam.

Perempuan pertama sangat girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.
"Jangan...tolong jangan kau belah bayi itu.
Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata perempuan kedua.

Abu Nawas pun tersenyum lega mendengar penuturan perempuan kedua itu.
Sekarang topeng mereka sudah terbuka, dan Abu Nawas pun segera menganbil bayi itu dan langsung menyerahkannya kepada perempuan kedua.

Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih, apalagi di depan mata.

Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan ABU NAWAS.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan.
Akan tetapi Abu Nawas menolaknya, ia lebih senang menjadi rakyat biasa, sebagai orang desa.
Abu Nawas lebih suka hidup sederhana dan tidak gila jabatan seperti jaman sekarang ini.

Abu nawas memeras pemeras

Kisah Abu Nawas kali ini mencoba menyuguhkan tentang cara Abu Nawas untuk memeras pemeras, seorang pegawai pemerintah yang telah berani mencoba memeras Abu Nawas.
Jangan ditiru ya tabiat dari pegawai pemerintahan yang satu ini.

Kisahnya..
Al Kisah pada waktu itu banyak sekali rakyat jelata yang ingin mendapatka hadiah besar dari Sang Raja.
Karena sudah menjadi aturan kerajaan, bagi siapa saja yang bisa membawakan berita bagus untuk Raja, maka ia akan mendapat hadiah yang sangat besar.
Tentu saja harulah Baginda senang mendengaranya...
Kalau tidak....Pancung hukumannya.

Dari itu, tidak semua orang berani begitu saja menghadap dan menyampaikan berita hangat kepada Baginda.
Ha ha... ini si Abu Nawas sukanya mencari uang untuk dibagikan kaum fakir miskin, mulai tergerak hatinya karena tetangga sebelah rumah banyak yang fakir dengan gaji pas-pasan lagi.

Memang Abu Nawas ini terkenal sebagau manusia dengan segudang ide.
Dia bermaksud ke istana untuk menyampaikan sebuah berita yang amat menarik.
Abu Nawas yakin kalau yang akan disampaikannya pasti akan membuat Baginda girang, karena berita ini jarang diketahui orang.

Di suatu pagi yang cerah, Abunawas berangkat sendirianmenuju istana.
Tetapi semuanya tidak seperti yang dibayangkan semula karena ia harus berhadapan dengan pengawal, penjaga pintu gerbang istana.
Penjaga itu yakin bahwa Abunawas adalah orang yang sangat cerdik, bahkan paling cerdik di negerinya.
Dari itu, tidak mungkinlah Abunawas gagal untuk menyenangkan hati Baginda, guman si penjaga gerbang.

Penjaga itu berlagak acuh tak acuh berkata kepada Abu Nawas.
"Wahai Abunawas, engkau akan aku ijinkan masuk asalkan engkau berjanji terlebih dahulu kepadaku," kata penjaga pintu gerbang itu.
"Janji apa?" Abunawas pura-pura tak tahu.
"Engkau harus berjanji kepadaku bahwa apapun hadiah yang engkau terima harus dibagi sama rata denganku," kata penjaga pintu gerbang istana.
"Baiklah...," kata Abu Nawas jengkel.

Setelah Abu Nawas menjanjikan separo hadiah yang akan diterimanya dari Baginda barulah penjaga itu mengijinkan Abunawas masuk.
Kejengkelan Abu Nawas terhadap penjaga gerbang yang nakal ini berubah menjadi dendam yang berkobar-kobar.
Akhirnya Abu Nawas mempunyai ide untuk memberikan pelajaran berharga buat pengawal, penjaga pintu gerbang istana itu.

Setelah masuk istana, Baginda Raja Harun al-Rasyid merasa sangat senang.
Rasa senang ini sampai ke lubuk hatinya yang paling dalam.
Setelah Abu Nawas menyampaikan berita yang amat langka dan jarang diketahui oelh manusia, Baginda pun mersa sangat senang dan puas.
Baginda merasa belum pernah mendengarnya, hingga seolah-olah ia telah menjadi orang yang paling beruntung di dunia.

"Wahai Abu Nawas, kali ini tentukanlah sendiri hadiah yang engkau inginkan," kata Baginda.
"Terima kasih, paduka junjungan hamba.
Bila diperkenankan memilih hadiah, maka hamba meminta seratus cambukan," jawab Abu Nawas.

Tentu saja Baginda bertanya-tanya dalam hati, merasa kaget dan heran.
Tetapi Baginda yakin bahwa Abu Nawas pasti mempunyai maksud tertentu di balik itu.
Dari itu, Baginda memanggil algojo kerajaan dan berpesan jangan terlalu keras kalau mencambuk Abu Nawas.

Algojo sudah siap dengan cambuk di tangan.
Abu Nawas dipersilahkan maju.
Sesuai dengan pesan dari Baginda, algojo itu mencambuk Abu Nawas dengan pelan.
Tepat pada hitungan ke limapuluh Abu Nawas berteriak,

"Berhenti....!!!"

Baginda kaget.
Beliau bertanya kepada Abu Nawas.
"Mengapa engkau minta hukuman cambuk dihentikan. Bukankah engkau sendiri yang memintanya?" kata Baginda belum mengerti.

"Paduka yang mulia, sebenarnya penjag pintu gerbang istana telah melarang hamba untuk masuk kecuali hamba mau berjanji membagi sama rata hadiah apapun yang akan hamba terima.
Kini hamba mohon sisa hukuman itu dibebankan kepada penjaga pintu gerbang itu, wahai Paduka yang mulia," kata Abu nawas menjelaskan.

Haa...
Bukan kepalang murka Baginda.
Tanpa banyak bicara lagi, pengwal itu dipanggil untuk masuk.
Baginda berpesan kepada algojo untuk melanjutkan hukuman lecut kepada pengawal yang zalim itu dengan sabetan yang sangat keras, sekeras-kerasnya.

Algojo dengan suka cita menerima titah Baginda.
Tak mengherankan jika pengawal itu hampir pingsan terkena lecutan keras itu.
Abu Nawas merasa sangat senang berbagi lecutan dengan pengawal ini.

Namun demikian, Abu Nawas belum juga puas,karena harusnya dia mendapat hadiah dari Baginda.
Hari berikutnya, Abu Nawas menemui pengawal itu dan berkata,
"Tahukah engkau apa yang bisa akulakukan terhadap dirimu kapanpun aku mau?" ancam Abu Nawas.
"Tidak," jawab pengawal itu ketakutan.
"Karena engkaulah aku tidak membawa hadiah apa-apa kecuali lecutan. Kalau engkau tidak mau mengganti hadiah yang mestinya aku terima maka aku akan mengadukan kepada Baginda," kata Abu Nawas yang mengetahui kalau pengawal ini suka terima suap juga dari orang lain.

Karena takut, maka pengawal itu bersedia menjual ladang hasil kecurangannya di masa lalu.
Dan selanjutnya ia memohon kepada Abu Nawas agar tidak mencelakakan dirinya lagi.
Abunawaspun setuju.

Akhirnya....
Dengan dari hasil penjualan ladang milik pengawal, uangnya dibagikan kepada yang membutuhkan, terutama tetangganya yang miskin tadi.
Agaknya masih bisa dilanjutkan, lain kali ketemu dengan Cerita ABU NAWAS yang lain.
(maaf jika ada kata yang kurang berkenan dan menyinggung hati para pembaca.
Ini hanya sebuah Kisah, cerita dan dongeng belaka).

harus bisa bertelur

Sudah bertahun lamanya Baginda ini selalu punya banyak ide untuk menjebak Abu Nawas dan ingin memenjarakannya, namun selalu saja gagal.
Kali ini Baginda punya siasat jitu dan dia bisa memastikan kalau Abunawas akan terperangkap dalam permainannya.

Suatu sore ketika Baginda berendam di dalam kolam, ia berkata kepada para menterinya.
"Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai paduka yang mulia?" tanya salah seorang menteri.
"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya ingin kalian datang lebih dini besok sore ke kolam ini. Jangan lupa datanglah sebelum Abunawas datang, karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita," jelas Baginda.

Akhirnya keesokan harinya Baginda dan para menteri telah dulu datang sebelum Abu Nawas.
Baginda membagikan 20 butir telur ayam kepada para menterinya, sedangkan yang satu untuk Baginda sendiri.Pengarahan telah diberikan dan dilaksanakan oleh para menteri untuk menjebak Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas datang, Bainda beserta para menteri sudah terlebih dahulu berendam di dalam kolam.
Abu Nawas disuruh ikut berendam saat itu juga.
Abu Nawas harap-harap cemas, kira-kira permainan apa yang akan dia hadapi, mungkin permainan kali ini akan lebih berat karena Baginda tidak memberinya tenggang waktu untuk berfikir.
Begitu guman Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas, aku mengndangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami."
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia?" tanya Abu Nawas.
"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang.
Sebagai manusia kita harus bisa dengan carakita masing-masing," kata Baginda senyum.

"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia," kata Abu Nawas takut.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam, dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum," jelas Baginda.

Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya murungdan ia yakin dirinya tidak dapat bertelur.
"Nah sekarang apalagi yang kita tunggu, kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing," perintah Baginda.

Baginda dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas sambil menunjukkan telur.
Abu Nawas masih saja di dalam kolam untuk bertelur, hiks hiks...
Abu Nawas sadar kalau Baginda dan para menteri telah mempersiapkan telur untuk masing-masing.
Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur.
Tak kuat menyelam terlalu lama, Abu Nawas akhirnya naik ke permukaan dan menepi.
baginda langsung menghampirinya.
"Ampun Tuanku yang mulia, hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri," kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum," kata Baginda bangga.

"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia," kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas," tanya Baginda tidak sabar.
"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hambba membela diri, sebenarnya kalau hamba tentu mampu, akan tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bisa bertelur.
Hanya Ayam betina saja yang bisa bertelur," jelas Abu Nawas.

Tentu saja Raja tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya terlihat malu,jadi semua yang membawa telur tadi ayam betina donk jadinya...
Abu Nawas memang licin.
Karena malu, Raja dan para menteri segera berpakaian, kemudian langsung menuju istana tanpa sepatah kata.

Abu Nawas sendiri tak mengira kalau dirinya bakal lolos dari jebakan Baginda yang satu ini.
Kisah Abu Nawas ini hanya dongeng saja.