"Ilmu pengetahuan Tertinggi adalah ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipikirkan oleh otak manusia tapi bisa dirasakan hati manusia"

"Top science is science that can not be considered by the human brain can be felt but the human heart"

"トップ科学人間の脳考えることはできない科学感じることができる、人間のです."

Senin, 25 Juli 2011

Ia Memperjuangkan Agama Allah Dengan Buntil

Buntil adalah makanan yang terbuat dari daun pepaya yang bentuknya bulat sebesar kepalan tangan anak-anak. Nah, dengan buntil itulah Muslim Abdullah (32) ‘membendung’ kristenisasi di kampungnya, Dusun Parwaganda, Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah.

Kisahnya berawal pada tahun 1999. Begitu lulus STM (sekarang SMK), Muslim, begitu biasa dipanggil, langsung merantau ke Jakarta. Seperti pemuda di kampungnya, ia ingin mengadu nasib di Ibu Kota yang gemerlap itu. Tak berapa lama ia kemudian mendapat pekerjaan di bengkel mobil. Sehari ia dibayar 30 ribu rupiah.

Sekali waktu ia mudik ke kampungnya, menengok kedua orangtuanya. Namun, ada yang menggelisahkan Muslim setiap kali ia pulang kampung. Bukan keadaan orangtuanya, melainkan gerakan kristenisasi yang mulai menggerogoti aqidah umat Islam di desanya. Metodenya sangat halus. “Misalnya, mereka sering mengajak rekreasi anak-anak,” kata Muslim.

Pada waktu lain, kata Muslim, berdalih kerukunan umat beragama. Beberapa orang Nasrani hadir pada perayaan hari-hari besar agama Islam. Sebaliknya, mereka juga mengundang warga Kaliori saat merayakan hari Natal. Celakanya, ada sebagian warga tertarik dengan undangan itu. “Karena di sana diajak makan-makan,” kata Muslim.

Roda kristenisasi terus menggelinding. Muslim makin gelisah, apalagi ia tahu beberapa tetangganya sudah ‘hijrah’ agamanya, dulu Islam kini Katolik. “Jumlahnya ada sepuluh orang,” katanya.

Puncak kegelisahan Muslim saat mereka membangun gereja di desa yang dulu seluruh penduduknya beragama Islam itu. Sejak saat itulah, Muslim memutuskan tidak kembali ke Jakarta. Ia memilih menetap di kampung kelahirannya. Ia tak ingin umat Islam di dusunnya kelak tinggal sejarah karena kristenisasi.

Kaliori terletak 20 kilometer dari kota Purwokerto. Berada di tengah hutan. Desa berpenduduk sekitar 10 ribu ini diselimuti berbagai pohon. Desa ini dibelah oleh jalan raya yang menghubungkan Banyumas dengan Purwokerto. Persis di pinggir jalan raya itu berdiri Sekolah Tinggi Injil Indonesia (STII). Di seberang STII, berdiri bukit seluas 100 hektar lebih. Di bukit inilah pada tahun 1985 dibangun Gua Maria, tempat ziarah dan doa bersama umat Katolik. Setiap hari ada saja umat Katolik dari Purwokerto dan sekitarnya yang datang. Puncaknya pada hari-hari besar Katolik, tempat ini dikunjungi ribuan umat Katolik di Purwokerto dan sekitarnya.

Kembali ke soal pembangunan gereja, Muslim tak mau kecolongan lagi. Ia mengadakan ‘perlawanan.’ Ia berkirim surat ke 20 instansi terkait, termasuk DPRD Banyumas. Tak hanya berkirim surat, ia juga langsung mendatangi kantor dewan. Intinya, ia dan umat Islam di Kaliori keberatan atas pembangunan gereja.

Karena ‘perlawanan’ itu, ayah dua anak ini terpaksa harus berurusan dengan aparat dari Polsek, bukan hanya sekali tapi hingga tiga kali. Tak hanya itu, ia juga didatangi aparat Koramil sebanyak tiga kali. Rupanya, pihak aparat kompak, minta Muslim menghentikan perlawanannya. Ia dituding mengganggu kerukunan umat beragama.

Muslim bergeming, bahkan berbalik menunjuk pihak Kristen. “Justru mereka yang melanggar hukum, kok saya dibilang mengganggu kerukunan beragama,” tegasnya.

“Setiap agama punya hak untuk berkembang,” kata Muslim menirukan aparat saat diperiksa. Muslim pun cepat menukas, “Mereka punya hak, saya pun punya kewajiban untuk melindungi umat saya.”

Perlawanan pria yang pernah nyantri di salah satu pesantren di Jawa Tengah ini berhasil. Kini, pembangunan gereja itu berhenti.

Muslim juga melakukan pembinaan kepada umat Islam sendiri. Ia menggelar berbagai pengajian, juga mendirikan Taman Pendidikan al-Qur`an (TPA) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Selain itu, ia mengirim pula beberapa pemuda belajar di pesantren. Kelak, mereka diharapkan kembali ke Kaliori untuk mengembangkan dakwah di desa yang terletak persis di belakang Bumi Perkemahan Kendalisada itu.

Jualan Buntil

Lebih jauh lagi, anak kelima dari tujuh bersaudara ini bercita-cita membangun lingkungan yang islami di kampungnya. Untuk itu, ia terus menyemai bibit-bibit generasi Islam, lewat panti asuhan yang ia dirikan tahun 2008.

Terletak di sebelah rumahnya, panti itu dibangun dari bahan sederhana: berdinding gedhek (bambu) dan berlantai tanah. Ada dua bangunan kecil di situ, satu untuk asrama anak-anak dan satunya untuk ruang belajar. Kini, panti yang diberi nama Nurul Ummah Kendalisada ini menampung 15 anak. Pagi mereka sekolah di luar, sedang sore dan malamnya belajar ilmu-ilmu agama. Semuanya gratis, mulai dari biaya pendidikan hingga makan dan pakaian.

Tentu saja tidak mudah ‘menghidupi’ dan mendidik 15 anak. Apalagi, dia sendiri mata pencahariannya hanya penjual buntil. Pada masa-masa awal, ia mengaku sempat bingung memenuhi kebutuhan anak asuhnya. “Ada yang minta uang sekolah, buku, seragam, dan sebagainya, sementara uang kosong. Semalaman saya tidak bisa tidur,” katanya. Pernah juga kepalanya pusing, memikirkan beras di dapur yang sudah ludes.

Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tak pernah terlambat menolong hamba-Nya yang memperjuangkan agama-Nya. Pertolongan itu bentuknya rupa-rupa. “Misalnya, ada toko yang membolehkan utang,” kata Muslim. Atau tiba-tiba ada pelanggan buntilnya yang telepon, minta datang ke rumahnya. “Saya diminta mengambil uang, kadang jumlahnya sampai 500 ribu rupiah,” katanya.

Tiap hari ayah dua anak ini menjual buntil. Pukul empat pagi ia sudah meluncur dengan sepeda motornya menerobos udara dingin. Ia melibas jalan puluhan kilometer menjelajah kota Purwokerto menjajakan buntilnya. Dari satu perumahan ke perumahan lainnya, dari satu kampung menuju kampung lainnya. Pembelinya, biasanya para ibu-ibu. “Maaf Bu, minta waktu sebentar. Begini, saya punya panti di rumah, silakan datang kalau ada waktu,” begitu biasanya Muslim menginformasikan pantinya.

Sosialisasi cara konvensional seperti itu, ternyata cukup jitu. Tak jarang, pelanggannya datang berkunjung sambil membawa bantuan. Ada yang membawa sembako, ada pula yang memberi uang.

Belum lama ini, Muslim memaksakan diri membeli sebidang tanah. “Dibilang memaksakan karena memang tak punya duit,” katanya. Di sisi lain, tanah itu sudah diincar non-Muslim dan telaknya persis di depan panti. Berkat dukungan umat Islam di Purwokerto, tanah akhirnya bisa dilunasi.

Ke depan, kata Muslim, di tanah tersebut akan didirikan SD Islam. Maklum, SD yang ada jaraknya cukup jauh, sekitar setengah jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Hanya saja, ia tak tahu pembangunan itu dimulai kapan. “Tergantung dananya, Pak,” katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar